Andre adalah seorang pecandu berat. Padahal ia adalah saudara laki-laki dari Dr. Rendy Adiyatma, Direktur Utama Sekolah Tinggi Pendidikan Anatomi Tubuh. Ia mengalami kejadian aneh pada saat duduk di bangku mahasiswa, yang menyebabkannya tertarik untuk mencoba menghisap candu.Dia membaca buku karangan Tera Liya, yang menggabarkan impian-impian dan perasaan dalam kenikmatan yang melambung tinggi. Dia lalu menambahkan candu pada rokoknya, dalam upayanya unuk menghayati imipian-impian dan perasaan-perasaan yang digambarkan penulis. Dia lalu menyadari, sebagaimana orang-orang lain yang pernah coba-coba mengisap candu, bahwa ia mulai ketagihan dan tidak dapat melepaskan hasrratnya untuk engisap candu secara terus menerus. Selama bertahun-tahun ia menjadi budak obat bius itu, sampai meninggalkan rasa ngeri dan kasihan teman-teman dan keluarganya. Dapat kubayangkan waah Andre saat ini, duduk meringkuk di kursi dengan wajah pucat, kelopak dan bola mata terkulai. Orang pasti tak akan menyangka bahwa dulu ia seorang laki-laki terhormat.
"Maafkan aku, karena berkunjung malam-malam begini," Katanya, lalu tiba-tiba dia tidak biisa menguasai dirinya. Dia lari kedepan, menjatuhkan dirinya k pelukan istriku, dan menangis tersedu-sedu di pundaknya. "Oh! Aku sedang dalam kesulitan!" isaknya, "Aku butuh pertolongan."
"Lho," Kata istriku sembari mengangkat cadar di wajah tamu kami,"Reyna Adiyatma. aku kaget sekali tadi, Reyna! Aku mengenalimu."
Begitulah yang terjadi, orang-orang yang dalam kesusahan langsung berlari ke istriku bagaikan burung yang terpikat oleh cahaya mercusuar.
"Senang sekali kau datang kemari. Nah sebaiknya, kau inum dulu, duduk yang nyaman lalu ceritakan apa yang terjadi kepada kami berdua."
"Ini menyangku Andre. Sudah sua hari dia tidak pulang, aku mencemaskan keadaannya!"
Sudah berkali-kali dia menceritakan masalaah suaminya kepada kami. Aku bertindak sebagai penasihat, dan istriku bertindak sebagai teman lamanya sejak di sekolah dulu. Kami menenangkkan dan enghiburnya dengan segenap kemampuan kami. Apakah dia tahu keberadaan suaminya? Apakah kami bisa membawanya pulang?
Nampaknya bisa. Dia mendapat informasi bahwa suaminya akhir-akhir ini suaminya sering pergi ke pondok candu di ujung timur Jakarta. Sebelum ini, kalaupun suaminya sdang ketagihan, malam harinya dia pasti pulang ke rumah, walau dalam keadaan yang mengenaskan. Namun kali ini sang suami sudah pergi selama dua hari dua malam. Terbayang olehnya sang suami tergeletak teler diantara pecandu-pecandu lainnya. Suaminya harus di jemput dari tempat bernama gold bar tersebut, yang terletak di daerah bernama Jakarta Timur, namun apa dayanya ? Bagaimana mungkin seorang wanita lemah sepertinya mampu menarik seorang pria teler diantara cowok-cowok setengah sadar lainnya. ?
Begitulah masalahnya, dan tentu saja hanya ada satu jalan untuk menyelesaikannya. Mungkin sebaiknya aku menemaninya pergi kesana ? Kemudian aku berpikir untuk apa dia ikut ? Aku kan penasehat medis Andre Adiyatma jadi mungkin aku bisa mengajaknya pulang. Ya, kurasa lebih baik aku pergi sendiri. Aku berjanji pada wanita itu bahwa aku akan mengirim suaminya pulang dalam tiga jam apabila suaminya benar berada di tempat yang telah disebutkannya tadi. Sepuluh menit kemudian aku bergegas meninggalkan rumah dengan taxi menuju ke arah timur untuk tugas yang saat itu terasa aneh bagiku walaupun kemudianlah benar-benar terbukti betapa anehnya tugasku itu.
Aku tak mengalami kesulitan pada awal petualanganku. (nama daerah) adalah sebuah gang kumuh yang terletak di belakang dermaga yang menjulang tinggi di sepanjang sungai di sebelah utara samapi sebelah timur jembatan Poncol. Tempat yang kucari berada diantara toko pakaian dan kedai makanan kumuh Untuk sampai di tempat itu aku yang ternyata berada di bawah tanah aku harus melewati tangga yang sempit dan curam, lalu masuk ke celah yang gelap bagaikan mulut goa. Setelah meminta supir taxi menunggu aku menuruni tangga tersebut. Aku harus berhati-hati karena bagian tengahnya bolong-bolong, rupanya karena keseringan di lewati orang mabuk. Akhirnya aku sampai ke pintu masuknya. Di atasnya terdapat lampu kuning yang berkedip-kedip. Kubuka pintu itu dan aku masuk ke sebuah ruangan yang beratap rendah dan penuh akan asap rokok yang bercampur dengan candu, dan dipetak-petak dengan dipan kayu, bagaikan kapal bermuatan yang akan bermigrasi ke negara lain.
Samar-samar terlihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan dengan pose yang aneh-aneh. Ada yang bahunya melengkung kedepan, ada yang lututunya di bengkokkan, ada yang kepalanya mendangah jauh kebelakang sehingga dagunya terjulang ke atas. Namun, semua mata sayu dan muram menatap tajam ke arah pengunjung yang baru datang. Dibalik bayangan-bayangan hitam itu, berkedip bulatan-bulatan merah di udara. Cahaya erah itu benderang seiring disulutnya pipa logam berisi candu dan meredup seiring menyusutnya isi pipa. Kebanyakan orang yang berada disitu berada dalam keadaan diam, tapi ada juga yang komat-kamit berbicara tak menentu kepada dirinya sendiri, atau berbicara bersama-saa dalam suara yang aneh, rendah dan nadanya monoton. Pembicaraan itu tak terkendali, kadang-kadang ramai, tiba-tia sunyi senyap. Masing-masing mengucapkan pikirannya tanpa perduli dengan kata-kata teman di sebelahnya. Pada salah satu sudut di kejauhan aku melihat sebuah anglo dengan arang yang menyala merah. Disampingnya, di sebuah kursi berkaki tiga tanpa sandaran, duduk seorang pria tua kurus, tua, dan tinggi. Rahangnya bertmpu pada kedua kepalan tangannya, dan kedua tangannya bertengger di lututnya. Diaa sedang menatap api di sebelahnya.
Aku melangkah lebih dalam, sorang pelayan Malaysia meyodorkanku dengan membawa pipa dan candu, dan menunjukkan sebuah dipan kosong.
"Terimakasih saya datang bukan untuk mengisap candu," kataku "Ada seorang teman disini, namanya Andre Adiyatma, dan saya perlu biicara dengannya."
Tiba-tiba seseorang mendekatiku dari samping kanan sambil berteriak, ketika kutengok, ternyata Andre. Dia sedang menatapku. Wajahnya pucat, cekung, dan rambutnya awut-awutan.
"Ya Tuhan! Willy !" katanya dengan suara gugup dan memelas."Katakan,Willy, jam berapa sekarang ?"
"Hampir jam sebelas malam."
"Hari apa?"
"Jumat, tanggal 19 Juni."
"Astaga, kupiikir masih hari Rabu. Tapi memang Rabu kan ? Untuk apa kau menakut-nakutiku?"
Ditutupinya wajahnya dengan kedua tangannya, dan dia mulai tersedu-sedu tak terkendali.
"Dengar, ini sudah hari Jumat bung, istrimu menunggu dengan cemas selama dua hari. Kau mestinya malu pada dirimu sendiri!"
"Memang. Tapi kau keiru Willy, aku baru beberapa jam disini dan menghisap tiga,empat atau berapa ya, aku lupa sihh. Tapi baiklah, aku akan pulang bersamamu. Aku tak ingin membuat Reyna cemas.... Reyna mungilku yang malang. Tolong tanganmu aku perlu pegangan, kau bawa taxi?"
"Ya, ada di luar sana."
"Baikah, aku akan pergi bersamamu. Tapi rasanya aku ada beberapa hutang, Willy. Tolong cari tahu berapa hutangku. Aku lemah sekali, aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Aku melintasi orang-orang terkapar sembari menahan napasku dari asap candu yang menjijikkan dan memusingkan kepala ini. Saat aku melewati Pria tinggi yang duduk di dekat anglo, tiba-tiba celanaku ditarik oleh seseorang. Lalu terdengar suara rendah yang berbisik "Teruslah berjalan, lalu menengoklah kearahku." Kata-kata itu terdengar jelas di telingaku. Aku menengok. Suara tadi pasti berasal dari pria tua itu. Tapi aku melihatnya dalam keadaan teler. Tubuhnya kurus sekali, wajahnya penuh kerut-merut. Aku melangkah maju dan menoleh kebelakang. Aku benar-benar harus mengendalikan diriku supaya tidak berteriak keheranan, dia telah membalikkan badannya sehingga hanya aku yang bisa melihatnya. Wujud pria tua yang kulihat tadi sudah berubah, kerut-merutnya menghilang, mata sayu tadi kini menjadi bersinar, dan didekat api itu Arthur Doyle sedang menyeringai melihat keterkejutanku. Dia memberi tanda supaya aku mendekat kepadanya, dan dalam sekejap, ketika dia menengok ke arah lain, dia kembali enjadi pria tua yang mengerikan tadi.
"Doyle! Apa gerangan yang kau lakukan ditempat seperti ini?"
"Bicaralah sepelan mungkin, telingaku masih baik, Jika kau bisa melepaskaan diri dari temanmu yang teler itu aku perlu bicara sebentar denganmu."
"Aku ditunggu Taxi diluar."
"Kalau begitu, biarlah temanmu pulang sendiri dengan taxi! Dia pasti terlalu lemah untuk melakukan sesuatu yang tidak-tidak. kirimlah pesan singkat kepada istimu, katakan pada istimu bahwa kau kebetulan bertemu denganku. Silakan tunggu diluar, akan kususul dalam lima menit."
Tak mudah bagiku untuk menolak permintaan Doyle, permintaan nya begitu tegas dan bagaikan perintah yang tak dapat kutolak keberadaannya. Lagipula kalau Andre sudah berada di Taxi yang mengantarkannya puang, sudah selesai tugasku, dan selanjutnya dengan senang hati aku akan menemani Doyle bertualang. Dalam beberapa menit saja, aku telah selesai mengirim pesan WA kepada istriku, membayar utang-utang Doyle, memapahnya keluar menuju Taxi dan melihatnya menghilang di kejauhan bersama taxi. Beberapa saat kemudian, sosok pria tua tadi keluar dari pondok candu, dan aku mulai menemani sosok itu yang ternyata adalah Arthur Doyle, Detektif Swasta energik yang menangani kasus-kasus mustahil di kota metropolitan ini. Selama melewati dua gan dia jalan dengan punggung di bungkukkan dan langkah sempoyongan. Setelah itu, dia menoleh ke sekeliling dengan sigap, lalu menegakkan tubuhnya kembali dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Kurasa Willy," katanya "Kau pasti menduga bahwa aku terjerumus ke praktik menghisap candu dan bergabung dengan orang-orang teler yang bahkan tak ingat waktu itu."
"Aku memang terkejut melihatmu didalam sana tadi"
"Kau pikir aku tidak terkejut melihatmu disana?"
"Aku hanya menjemput teman."
"Dan aku hanya menjemput musuh."
"Musuh?"
"Ya, salah satu musuh biasa, atau lebih tepatnya orang yang sedang kumangsa. Singkatnya, Willy, aku sedang dalam penyelidikan besar, dan aku berharap akan menemukan petunjuk diantara pemabuk dan pecandu seperti yang biasanya kulakukan sebelum ini. Tapi kalau aku sampai ketahuan berada di pondok candu tadi, nawaku pasti sudah melayang sia-sia, karena aku pernah memakai tempat itu untuk kepentingan penyelidikanku, dan si Naufal yang mengusahakan tempat itu telah bersumpah untuk membalas dendam kepadaku."
Dia menaruh kedua jari di mulutnya dan bersiul dengan nyaring. Lalu, sebuah taxi dengan lampu yang terang di kedua sisinya berderap mendekat ke arah kami.
"Kau mau ikut tidak?"
"Hanya kalau berguna"
"Oh teman yang bisa dipercaya selalu ada gunanya. Kamarku di Permai Villa Dago bisa untuk dua orang kok."
"Permai Villa Dago?"
"Ya, Milik Mr. Rifky. Aku tinggal disana sementara melakukan penyelidikan."
"Di daerah mana itu?"
"Dekat Bandung, kira-kira 80 kilometer dari sini."
"Tetapi aku sama sekali tidak tahu-menahu soal kasusmu ini."
"Tentu saja, tapi sbentar lagi kau akan tahu semuanya . Yuk naik sini!"
Sang supir menginjak pedal gas dan membawa aku dan temanku ke penginapan di daerah Bandung. Setelah keluar dari tol, kami melewati jalanan yang sunyi dan suram. Jalanan akin lama makin lebar dan kami melewati jembatan lebar yang dibawahnya mengalir sungai yang tak jelas terlihat. Di hadapan kami terbentang bangunan-bangunan kokoh yang diterangi lampu warna-warni, yang sangat kontras dengan suasana sunyi senyap menyelimuti sekeliling. Hanya sesekali terdengar sirine mobil polisi yang sedang berpatroli dan suara gerombolan orang yang sedang berhura-hura. Searak awan bergerak dengan lamban di langit, dan hanya ada stu dua bintang yang bersinar dibalik arak-arakan awan kapas. Arthur Doyle duduk dengan kepala tertunduk sebagaimana layaknya orang yang sedang asyik berpikir, sementara aku duduk disampingnya dengan rasa ingin tahu. Penyelidikan macam apakah yang telah menyita energnya? Aku tak berani bertanya kepadanya, karena khawatir akan membuyarkan konsentrasi nya yang sedang berpikir. Kami telah menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer dan sedang mendekati vila-vila pedesaan. Seketika temanku menggelengkapn kepalanya, menyigapkan bahunya, dan menyulut pipa, seolah-olah merasa puas karena melakukan sesuatu yang sempurna.
"Kau memiliki karunia luar biasa dalam berdiam diri, Willy,"katanya " Sehingga sebagai teman seperjalananku, kau sungguh hebat . Betapa beruntungnya aku memiliki teman yang bisa diajak berbincang-bincang, karena saat ini pikiranku sedang agak kacau. Apa yang nanti harus kukatakan kepada wanita pemilik rumah itu, ketika dia menyambut kedatanganku?"
"Kau lupa bahwa aku belum tahu-menahu soal kasus mu yang baru ini."
"Masih ada waktu untuk menjelaskan semuanya padamu sebelum kita sampai di vila. Kasus ini kelihatannya sepele, tetapi aku tak tahu harus mulai dari mana. Ada banyak petunjuk namun aku belum memutuskan yang mana yang akan kuikuti. Sekarang akan kuceritakan kasus ini padamu, mungkin kau bisa menemukan sedikit titik terang."
"Silahkan, kalu begitu."
"Beberapa tahuun lalu, tepatnya pada bulan Mei 2009, seseorang yang nampaknya cukup kaya bernama Rifky Hidayat menetap di Bandung. Dia membeli sebuah vila yang besar, membenahi tanah di sekeliliingnya dan hidup dengan tentram. Lama-kelamaan, ia ulai berteman dengan penduduk di sekitar situ, dan pada tahun 2014 dia menikah dengan putri pembuat tahu. Mereka kini mepunyai dua orang anak. Dia tak punya pekerjaan, tapi tertarik pada beberap perusahaan. Tiap pagi ia pergi kekota dan kembali dengan kereta pada pukul 17.14 dari stasiun Bandung. Mr. Rifky Hidayat kini berusia tiga puluh tujuh tahun. Dia seorang suami yang baik, ayah yang penuh kasih sayanag, dan populer di kalangan teman-temannya. Saat ini dia memang puya hutang sebanyak empat juta rupiah, tapi ia mempunyai simpanan di Bank BCA Sebanyak dua belaj juta rupiah. Jadi ia tidak sedang dalam kesulitan keuangan. Pada hari Senin lalu Mr. Rifky pergi ke kota agak lebiih pagi dari biasanya. Sebelu berangkat ia berpesan kepada istrinya bahwa ada urusan penting dan berjanji akan membelikan balok-balok mainan untuk anaknya yang kecil. Nah, tak lama setelah kepergiannya, istrinya menerima telegram bahwa paket yang sudah ditungg-tunggu nya telah sampai di kantor kurir yang letaknya tak jauh dari tempat kita bertemu tadi. Mrs. Rifky makan siang, berangkat ke kota, berbelanja sebentar, menuju kantor kurir, mengambil paketnya, dan pada pukul 16.35 berjalan melintasi pondok candu menuju stasiun. Sampai disini, kamu bisa mengikuti kisah ini?"
"Sangat jelas, silakan lanjutkan."
"Kalau kau ingat hari Senin lalu, cuaca nya sangat panas, dan Mrs. Rifky berjalan secara perlahan berharap ada Taksi yang lewat sebab sekitar sittu bukanlah lingkungan yang baik. Ketika dia berjalan melewati depan pondok candu tsb. tiba-tiba ia mendengar suara orang berseru, ia mendongak ke atas dan alangkah terkejutnya dia, karena melihat suaminya sedang menatap dari atas, seolah-olah mengisyaratkan sesuatu. Suaminya berada di jendela lantai atas sebuah gedung. Jendela itu terbuka dan secara samar-samar ia melihat wajah suaminya yang amat gelisah. Suaminya melambaikan tangan dengan bingung, lalu secara amat tiba-tiba menghilang dari jendela itu seolah-olah ditarik kebeakang olh sesuatu yang amat kuat. Mata wanita itu segera menangkap sesuatu yang aneh pada diri suaminya. Dia asih mengenakan kemeja gelap yang dipakainya dari rumah, tapi tanpa kemeja dan dasi.
"Dia merasa yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang tak beres pada suaminya, maka dia segera menuruni tangga---karena tempat dimana ia melihat suaminya adalah pondok candu yang kita kunjungi tadi---berlari melewati ruang depan, dan langsung menghampiri tangga yang menuju lantai atas. Tetapi sesampainya di kaki tangga, ia dihalang-halangi oleh pemilik tempat menjijikkan itu bersama asistennya yang orang Cina. Mereka lalu mendorongnya keluar. Dia menjadi semakin marah dan cemas. Dia berlari sepanjang jalan itu dan kebetulan bertemu dengan ploisi yang sedang berpatroli. Inspektur polisi dan dua bawahannya segera kembali ke pondok candu itu, dan memaksa masuk ke ruangan dimana Mr.Rifky terlihat tadi. Tapi sang suami tak ada disitu, bahkan tak ada seorangpun yang memijakkan kaki di lantai atas, kecuali seorang timpang buruk rupa yang sepertinya memang menetap disitu. Baik Naufal maupun si timpang buruk rupa dengan ngotot bersumpah bahwa tak ada seorangpun yang naik dan menetap di ruangan depan itu diwaktu siang. Sangkalan mereka begitu meyakinkan sehingga inspektur mulai bimbang dan hampir saja mengira bahwa Mrs. Rifky salah lihat . Tapi tiba-tiba, Mrs. Rifky berteriak dan mengambil kotak kecil yang tergeletak diatas meja. Dirobeknya pembungkus kotak tersebut dan balok-balok mainan anak-anak berjatuhan. Suaminya memang berjanji akan membelikan maiinan untuk anak mereka yang masih kecil.
"Ditemukannya mainan itu dan kebingungan yang jelas terlihat di wajah si timpang, menyadarkan inspektur bahwa masalah ini cukup serius. Kamar-kamar di lantai atas itu lalu diperiksa. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa telah terjadi tindak kriinal yang mengerikan disitu. Kamar depannya berfungsi sebagai kamar duduk sderhana, dan langsung bersebelahan dengan kamar tidur kecil. Kamar tidur ini menghadap ke bagian belakang dermaga. Di antara dermaga dan jendela kamar tidur itu terbentang dataran sempit, yang kering ketika padang surut, namun tergenang air setinggi 135 cm ketika pasang naik. Jendela kamar tidur itu lebar, dan cara membukanya dengan menarik dari bawah ke atas. Selama pemeriksaan diteukan noda darah di ambang jendela dan juga di lantai papan kmar tidur itu. Di balik gorden kamar depan ditemukan pakaian Mr. Rifky---sepatu, kaos kaki, topi, dan jamnya, tapi jas luarnya tidak disitu. Tak nampak adanya tanda-tanda penganiayaan pada pakaian ini, tapi Mr. Rifky tetap tidak ditemukan. Rupanya dia telah meghilang dari jendela besar di kamar tidur itu , karena tak ada jalan keluar lain, namun noda darah yang ada di ambang jendela membuat mereka pesimis. Kecil kemungkiinannya dia bisa melarikan diri, karena pada saat tragedi ini air sedang setinggi-tingginya.
" Naufal menyangkal dugaan bahwa ia pelaku utamanya, dia memang penjahat keji namun dia berada di tangga beberapa detik setelah Mr. Rifky melihat suaminya, jadi dia bukan pelaku utama. Jika ia terlibat paling-paling dia hanya dituduh karena membantu kejahatan saja, bukan sebagai pelau uttama. Dia menyangkal keras atas keterlibatannya dan tidak tahu menahu atas aapa yang dilakukan Juplik, penyewa lantai atas itu. Dia juga tidak mengerti bagaimana pakaian orang hilang bisa sampai ke situ.
"Sampai disini saja cerita tentang sang manajer, Naufal. Sekarang tentang timpang aneh yang tinggal di lantai atas pondok candu itu, dan yang tentu saja yang tadi melihat Mr. Rifky disitu. Namanya Juplik . Wajahnya menyeramkan dikenali oleh orang-orang yang sering ke kota. Dia seorang pengemis, walaupun untuk menghindari polisi ia berpura-pura menjual korek api. Tiap hari ia duduk dengan kaki disilangkan di suatu pojok jalan Tentara Pelajar No.55 . Korek apinya ditaruh di pangkuannya. Siapa saja yang lewat pasti akan merasa kasihan padanya, dan mereka akan melemparkan uang ke topi kulit yang ditaruh di hadapannya. AKu sudah pernah orang semacam dia sebelumya. Aku terkejut sekali karena penghasilannya dari mengemis ternyata sangat besar, padahal ia hanya 'praktik' beberapa jam sehari. Penampilannya memang benar-benar menarik perhatian; orang pasti menegok ketika melewatinya. Rambutnya berwarna jingga, wajahnya pucat, dan ada bekas luka mengerikan , yang menyebabkan pinggiran bibir atasnya tertarik keatas kalu wajahnya bergerak-gerak. Dagunya menggelambir penuh akan kotoran, dan matanya yang gelap dan tajam sangat kontras dengan rambutnya. Pokoknya dia lain dari pengemis-pengemis pada umumnya, lagi pula ia cukup jenaka. Dia selalu membalas cemoohan yang dilotarkan orang-orang kepadanya dengan kata-kata yang cukup untuk membuat anak kecil tertawa. Orang inilah yang menyewa kamar lantai atas pondok candu itu dan yang terakhir kali melihat Mr. Rifky."
"Tapi dia kan cacat!" Kataku. "Apa yang bisa dilakukan orang cacat terhadap orang yang masih kuat begitu?"
"Dia cacat, dalam artian pincang, tapi dalam hal-hal lain dia masih cukup kuat dan sehat untuk bergulat dengan pria dewasa seaklipun."
"Silahkan dilanjutkan ceritanya."
"Mrs. Rifky pingsan ketika melihat darah di jendela itu, dan dia diantar pulang oleh polisi, karena kehadirannya tak banyak membant penyelidikan mereka. Inspektur Hendro yang menangani kasus ini, mengamati tempat itu dengan teliti, tapi tak menmukan sedikitpun petunjuk untuk masalah ini. Dia membuat satu kesalahan, karena tidak langsung menangkap Juplik. Tapi kesalahan ini segera disadari, Juplik langsung ditangkap dan digeledah, tapi tak diteukan sesuatu yang dapat menyudutkannya. Memang ada noda darah di lengan bajunya sebelah kanan, tapi dia mengatakan kalau itu berasal dari jari manisnya yang terluka , sambil menambahkan bahwa tadi dia juga mendekat ke jendela, jadi menurutnya noda darah di jendela itu pasti berasal luka di jarinya . Dia menyangkal keras bahwa tadi ada Mr. Rfiky dan tidak tahu bagaimana pakaian orang hilang tersebut bisa sampai di kamarnya. Mengenai Mrs. Rifky yang melihat suaminya di jendela atas itu, dia memberi komentar bahwa wanita itu sudah gila atau sedang melamun. Walaupun dia memrotes dengan keras, dia dibawa juga ke kantor polisi, sementara inspektur Barton tetap tinggal di pondok itu dengan harapan akan menemukan sesuatu ketika airnya surut.
"Dan benarlah, mereka menemukan sesuatu di pinggiran situ. Walaupun bukan yang dikhawatirkan sebelumnya. Yang ditemukan ialah jas Mr. Rifky, bukan orangnya. Jas itu terlihat tergeletak di daratan yang tadinya tergenang air. Dan coba tebak, apa yang mereka temukan di saku-saku jas tersebut."
"Entahlah."
"Benar, kau mungkin tak bisa menebak. Tiap sakunya dipenuhi uang logam--421 uang logam Rp.500,00 dan 270 Rp.1000,00! Itulah sebabnya jas itu tak terseret arus laut. Tapi tubuh manusia kan ringan. Ada putaran air yang ganas diantara dermaga dan rumah itu. Mungkin jas yang berat ini terlepas ketika pemakainya terswdot ke laut."
"Tapi bukankah pakaian-pakaiannya ditemukan di rumah itu? Apakah orang malang itu cuma memakai jas luarnnya saja?"
"Entahlah, tapi fakta-fakta ini cukup menolong. Kalau Juplik yang melempar Mr. Rifky keluar jendela tak akan ada satu saksi mata pun yang melihat kejadian itu bukan? Lalu, apa yang akan dia lakukan? Dia harus melenyapkan pakaian-pakaian korban. Waktu mau melempar jasnya mungkin dia teringat bahwa jas itu akan mengapung. Padahal waktunya sangat mendesak, karena dia mendengar istri korban berteriak-teriak ingin masuk ke atas, dan mungkin dia sudah mndengar dari temannya Naufal, bahwa polisi sedang menuju ke tempatnya. Dia lalu bergegas mengambil uang simpanan nya dan memasukkan koin-koin itu ke saku jas, agar jas itu bisa tenggelam kalau dibuang ke air. Setelah membuang jas dia berniat membuang pakaian-pakaian yang lain tapi dia sudah mendengar langkah-langkah yang memburu mendekati kamarnya. Dia hanya sempat menutup jendela ketika polisi memasuki kamarnya."
"Bisa jadi begitu."
"Yah, sementara ini hipotesis nya begitu, sampai kita menemukan yang lebiih baik. Tadi kukatakan bahwa Juplik ditangkap dan dibawa ke kantor polisi . Tapi catatan tentang dirinya bersih skali. Memang sudah bertahun-tahun dia dikenal sebagai pengemis, tapi hidupnya tenang-tenang saja dan dia tak pernah berbuat kejahatan. Begitulah masalahnya saat ini, dan pertayaan-pertanyaan yang harus dijawab adalah : Sedang apa Mr. Rifky Hidayat di pondok candu waktu itu ? Apa yang terjadi padanya? Di mana dia sekarang ? Dan apa peran Juplik dalam enghilangnya Mr. Rifky ? Kuakui, masalah ini memang sepintas terlihat sepele tap ternyata rumit sekali."
Selama Arthur Doyle berkisah, kami telah melewati pinggiran kota dan rumah-rumah pedesaan mulai tampak di depan dengan pagar-pagar yang khas dan kebun serta sawah yang menjulang bagaikan permadani di kanan-kiri jalan yang kami lalui.
"Kita hampir tiba di desa Lebak Muncang, Ciwidey," kata temanku." Kita telah melewati pusat kecamatan Ciwidey dan lihat lampu diatara pepohonan itu? Itulah Vila Dago, dan di samping lampu itu duduk seorang wanita yang pasti telah mendengar mesin kendaraan kita."
"Mengapa tak kau tangani di Jakarta saja ?"
"Karena banyak penyelidikan yang harus aku lakukan di sini. Mrs. Rifky telah berbaik hati dengan menyediakan dua kamar atas permintaanku dan kau tak perlu sungkan untuk menginap disana bersamaku. Wanita itu pasti akan menerima rekan kerjaku dengan senanang hati. Rasanya aku tak tega menemuinya dengan tak membawa kabar apapun tentang suaminya. Baiklah kita sudah sampai."
Kami sampai di villa besar yang tampak megah dari depan, dengan halaman-halaman luas yang mengelilinginya dan di hiasi dengan taman-taman bunga nan indah. Lalu kami berjalan ke sebuah rumah di samping villa. Pintu rumah tersebut terbuka seolah menyambut kedatangan kami dan seorang wanita mungil pemilik villa besar tsb keluar. Pada awal nya dia terlihat girrang melihat temanku bersama satu orang pria, namun ia kembali tampak murung dan menanyakan kabar suaminya.
"Ada kabar baik tentang suami ku Mr. Doyle?" Tanyanya,
"Belum"
"Kabar buruk?"
"Juga belum dapat bu."
"Syukurlah kalau begitu, mari masuk ke dalam, kamar yang anda minta sudah disiapkan Mr. Doyle."
"Terimakasih bu, perkenalan rekan kerjaku, Dr. Willy, dia akan sangat berguna untuk penyelidikan kasus suami anda bu."
"Selamat datag Dr. Willy, Senang bisa melihatmu bekerja sama dengan Mr. Doyle," Kata Mrs. Rifky sembari menyalamiku dengan hangat "Kami mohon maaf apabila pelayanan kami kurang berkenan di hati anda, maklumlah kami sedang mendapat cobaan yang sangat mendalam."
"Bu," kataku " Saya biasa bertualang bersama teman saya dan hidup seadanya. Kalaupun tidak, jelas anda tak perlu minta maaf. Saya siap membantu anda dan teman saya, kapan saja."
"Nah Mr. Doyle," Kata wanita itu sembari memasuki ruangan tengah yang tampak mewah dan minimalis, diterangi cahaya lampu yang tergantung di tengah-tengah ruangan. "Saya ingin mengajukan satu dua pertanyaan sederhana, mohon dijawab dengan jujur."
"Pasti, bu."
"Tak usah mencemaskan perasaan saya. Saya bukan wanita histeris yang mudah pingsan kalau mendengar sesuatu yang mengejutkan. Jadi harap terus terang saja."
"Tentang apa ya?"
"Jauh di lubuk hati anda, apakah menurut anda Mr. Rifky masih hidup?"
Arthur Doyle sepertinya malu mendengar pertanyaan ini.
"Jujurlah kepada saya!" Ulang wanita itu sambil berdiri di atas permadani dan memandangi teanku dengan tajam. Ketika itulah Doyle menjatuhkan tubuhnya ke sebuah sofa malas.
"Kalau saya harus jujur, bu, jawabannya adalah tidak."
"Menurut anda dia sudah meniggal?"
"Begitulah."
"Dibunuh orang?"
"Saya tidak mengatakan begitu, tapi itulah kemungkinannya."
"Dan, kapan tepatnya ia meninggal?"
"Senin lalu, setelah anda melihatnya di pondok candu itu."
"Kalau begitu Mr. Doyle bisakah anda menjelaskan surat yang saya terima darinya tadi?"
Arthur Doyle melompat berdiri dari tempat duduknya tadi bagaikan tersengat oleh aliran listrik.
"Apa!" Serunya dengan suara menggelegar.
"Ya, surat ini baru saya terima hari ini." Dia berdiri sambil tersenyum. Dilambaikannya sepucuk surat di udara.
"Boleh saya lihat?"
Disambarnya surat itu dari tangan wanita itu, lalu ditaruh dimeja, didekatkan dengan lampu, dan diamatinya dengan seksama. Aku berdiri di belakangnya, ikut mengamati surat tersbut. Amplopnya murahan, dan cap posnya dari Jakarta, bertanggalkan hari itu juga, atau kemarin tepatnya karena hari sudah lewat tengah malam.
"Tulisannya jelek sekali. Pasti bukan tulisan suami anda, bu."
"Bukan, tapi isinya berasal dari dia."
"Menurut saya, seseorang yang telah menulis alamat amplop ini telah menanyakan alamat yang harus ditulisnya kepada rang lain."
"Bagaimana anda bisa tahu?"
"Lihatlah, tulisann namanya jelas sekali dengan tinta hitam yang mengering dengan sendirinya. Selanjutnya tak begitu jelas, tintanya seperti samar-samar karena ragu akan apa yang akan dia tulis. Seandainya penulisnya menuliskan nama dan alamat, tebal tinta dan corak tulisannya pasti akan sama. Jadi pastinya penulis menulisakan nama nya terlebih dahulu, lalu berhenti karena tak tahu kemana seharusnya surat itu dikirim dan menanyakannya kepada orang lain. Sepele ya? Namun yang sepele-sepele itu biasanya penting sekali. Sekarang mari kita lihat isi surat ini. Ha! Ada sesuatu di dalamnya!"
"Ya, cincin. Cincin stempel milik suami saya."
"Dan anda yakin ini tulisan suami anda?"
"Salah satunya."
"Salah satunya?"
"Ya, tulisannya memang tak seperti biasanya, tapi saya yakin itu tulisannya dan memang begitu jika dia menulisnya dengan terburu-buru "
Sayang, jangan takut semuanya akan beres. Ada kekeliruan besar yang perlu diluruskan. Dan ini membutuhkan waktu. Tunggu dan bersabarlah.--Rifky
"Ditulis dengan pensil di sobekan notes kecil tanpa cap, dan di poskan dari Jakarta oleh seseorang yang ibu jarinya kotor sekali. Ha! Kalau saya tidak salah tutup amplop nya di lem menggunakan ludah seseorang yang menghisap tembakau. Anda benar-benar yakin surat ini ditulis oleh suami anda bu?"
"Ya, surat ini ditulis oleh Rifky."
"Dan diposkan tadi pagi di Jakarta. Baiklah Mr. Rifky sudah ada titik terang, walaupun saya belum berani mengatakan bahwa bahaya sudah lewat."
"Tapi bukankah itu berarti dia masih hidup?"
"Kecuali jika tidak terjandi tindak penipuuan yang lihai, cincinn itu tidak berarti apa-apa. Bisa saja telah diambil dari jari tangannya."
"Tidak,tidak. Itu benar-benar tulisannya."
"Baiklah. Mungkin ditulis kemarin Senin dan dikirimkan hari ini."
"Kalau begitu mumgkin saja."
"Kalau begitu banyak hal bisa terjadi."
"Oh jangan membuatku putus asa Mr. Doyle, kau tak akan pernah bisa membayangkan betapa kuatnya perasaan diantara kami berdua. Aku seolah bisa merasakan keberadaan suamiku yang sedang baik-baik saja di suatu tempat. Contohya saja Minggu lalu, saat suamiku sedang bercukur dia terluka hingga berdarah, saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres lalu menghampiri suami saya. Untuk masalah tidak serius seperti itu saja saya bisa merasakannya, apalagi kalau bersangkutan dengan nyawanya."
Aku memang tidak begitu paham dengan perasaan wanita, tapi sepertinya yang dikatakan Mrs. Rifky ini sangat tulus dan serius.
"Kalau begitu menurutmu, izinkan aku mengajukan beberapa pertanyaan." Kata temanku
"Silakan mr. Doyle."
"Paada hari Senin lalu, apakah suami anda tak berpesan apa-apa sebelum berangkat?"
"Tidak"
"Dan anda terkejut melihatnya di Pondok Candu?"
"Sangat terkejut."
"Waktu itu, apakah jendela terbuka?"
"Ya."
"Jadi, seharusnya suamimu bisa memanggil anda?"
"Bisa."
"Nyatanya, dia hanya meneriakkan sesuatu yang tak anda mengerti?"
"Ya. Dia melambaikan tangannya."
"Itu bisa berarti kalau dia juga terkejut bisa melihat anda disitu?"
"Mungkin juga."
"Dan, menurut anda, dia ditarik ke belakang oleh seseorang?"
"Tiba-tiba saja dia menghilang."
"Mungkin saja dia sendiri yang melompat ke belakang. Apakah anda melihat orang lain di kamar itu?"
"Tidak. Tapi si buruk rupa itu bersumpah bahwa dia ada disana, dan si Naufal berada di anak tangga."
"Begitu ya, tapi saat anda melihat suami anda apakah ia berpakaian lengkap?"
"Ya. Tapi tanpa kemeja dan dasi, samar-samar aku melihat lehernya terbuka."
"Pernahkan dia menyinggung-nyinggung tentang pondok candu?"
"Tidak"
"Apakah suami anda penghisap candu?"
"Tidak"
"Baiklah bu, terimakasih telah menjawab beberapa pertanyaanku, kurasa aku mulai menemukan beberapa titik terang. Baiklah saatnya kami makan lalu beristirahat, besok kami akan sibuk sekali bu. Terimakasih."
Kami lalu melahap hidangan yang telah disediakan dan pergi ke sebuah kamar tidur besar dan dua buah tempat tidur telah disiapkan untuk kami, aku langsung meringkuk di bawah selimut. Aku capek sekali sehabis bertualang sepanjang malam ini. Tapi Arthur Doyle lain, dia tidak akan merasa lelah sedikitpun apabila sedang menangani kasus yang bisa memutar otaknya, bahkan ia sanggup tidak tidur berhari-hari atau seminggu kalau kasus yang ia tangani belum kujung selesai. Dia akan terus memikirkan kasus itu, mebolak-balikan faktanya, menguji hipotesis-hipotesi dari berbagai sudut pandang, sampai dia berhasil meneumukan pokok permasalahannya, dan menyadari bahwa datanya kurang lengkap.
Saat ini misalnya. Aku yakin dia tidak akan tidur semalaman, dia akan duduk termenung selama berjam-jam dengan mengenakan pakaian tidur biru kedodoran. Dia mulai engambil bantal-bantal dari tempat tidur, dari sofa dan dari kursi lainnya.
Dengan bantal-bantal itu dibuatnya dipan, dan dia duduk menyilangkan kaki nya dan kembali termenung. Di depannya trsedia potongan tembakau dan sekotak korek api. Dengan cahaya lampu tidur aku melihatnya duduk disana, bersama pipa yang menggantung di mulutnya, sedang memandngi sudut-sudut langit-langit bangunan dengan pandangan kosong, hanyut dalam pikiran. Dia duduk diam, asap biru melingkar-lingkar ke atas. Cahaya menyinari sosoknya bagaikan rajawali. Begitulah aku melihatnya sampai aku tertidur.
Aku terbngun dengan gelagapan keesokan harinya, mendengar seruan yang muncul dari bibir Arthur Doyle. Kamar yang aku tempati penuh akan asap tembakau yang menyesakkan dada. Onggokan tembakau yang kulihat tadi malam telah tiada.
"Sudah bangun willy?" Dia bertanya
"Ya."
"Siap berangkat?"
"Tentu saja."
"Kalau begitu bergegaslah, nampaknya seisi rumah belum ada yang bangun, aku akan memesan taksi online untuk perjalanan." Dia tergeletak ketika berbicara, matanya berkilat, sikapnya lain sekali dari yang kulihat tadi malam."
Sambil berpakaian aku menengok jam tanganku, pantas belum ada yang bangun. Baru jam dua lewat dua puluh lima menit di pagi hari! Aku hampir selesai berpakaian keika Doyle mengatakan bahwa Taksi nya sudah siap.
"Aku ingin menguji teori ku yang sederhana," katanya sambil mengenakan sepatu PDH nya. "Kurasa Willy, kau berhadapan dengan manusia terbodoh di Asia. Aku pantas ditendang keluar dari rumah ini Tapi kupikir aku sudah menemukan inti dari permasalahan ini."
"Kau dapat darimana kunci itu?" Tanyaku sambil menyeringai
"Dari kamar mandi," Jawabnya. "Oh aku tidak berguraiu, baru saja kuambil dari sana dan kutaruh dalam tas ini. Ayolah sobat, kita akan segera melihat apakah kunci ini cocok atau tidak."
Kami menuruni tangga dengan hati-hati. Di luar suasana masih gelap dan dingin, suara mesin mobil berderu di tengah kesunyian pagi, di sampingnya berdirilah seorang supir Taksi yang tampak sedikit awut-awutan namun terlihat siap mengantar kami kemana saja. Kami lalu meaiki Taksi itu dan langsung berangkat menuju Jakarta. Beberapa petani kebun teh--di Bandung memang banyak kebun teh kalau dilihat-lihat--berjalan degan menggendong karung menuju kebun mereka untuk memanen hasil yang mereka tanam. Tapi tetap saja, villa-villa pedesaan untuk tujuan wisata masih sepi, bagaikan kota dalam mimpi.
"Ada beberapa hal yang unik dalam kasus ini," kata Doyle sambil memandangi sekitar "Kuaki bahwa aku telah buta selama ini, tapi bukankan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?"
Sesampainya di kecaatan Ciwidey, orang-orang baru bangun dari tidur mereka, jendela-jendela rumah baru dibuka. Bersiap untuk melakukan aktivitas harian yang membosankan bagiku. Kami sampai di Jakarta pukul enam lewat lima belas menit dan langsung berbelok ke arah kantor kepolisian pusat. Arthur Doyle dikenal baik di kepolisian berkat jasa-jasa nya membantu menangani kasus yang dianggap buntu oleh kepolisian. Dua orang polisi yang berjaga di pintu depan memberi hormat kepadanya. Yang satu tetap berjaga di luar, dan yang satunya menemani kami masuk ke dalam.
"Siapa yang bertugas?" Tanya Doyle
"Inspektur Hendro, pak."
"Ah, Hendro, apa kabar?" Seorang polisi tinggi besar telah menyambut kami di lorong berdinding beton itu. Dia menggunakan seragam kepolisan lengkap dengan piston tergantung di pinggang. "Saya ingin berbicara dengan anda, Hendro."
"Tentu, Mr. Doyle, silakan masuk ke bilik kerja saya, disini." Sambutnya
Bilik kerjanya seperti ruangan kantor kecil. Di meja tergeletak buku yang sangat besar, dan ada sebuah telepon yang dipasang menempel di dinding. Inspektur hendro duduk di kursi putarnya.
"Apa yang bisa saya bantu Mr. Doyle?"
"Saya datang berhubungan dengan pengemis bernama Juplik--yang ditahan dalam kasus lenyapnya Mr. Rifky Kuriawan."
"Ya. Dia ditahan disini untuk di selidiki lebih lanjut."
"Begitulah yang saya dengan, Dia ada disini?"
"Ada di selnya."
"Apa dia tenang-tenang saja?"
"Oh, tidak menjadi masalah. Tapi dia itu manusia yang jorok sekali."
"Jorok?"
"Ya, menyuruhnya cuci tangan saja susah sekali, dan wajah nya betul-betul dekil. Mungkin kami akan memandikannya setelah kasus ini selesai."
"Saya ingiin berteu dengannya."
"Oh ya? Gampang. Mari saya antar. Anda bisa meninggalkan tas anda disini."
"Tidak, aku akan membawanya saja."
"Baiklah, mari ikuti saya."
Dia mengantar kami melewati lorong, membuka pintu besi yang dipalang, dan berjalan menuruni tangga yang berputar, lalu sampailah kami ke koridor yang bercat putih. Disini lah pengemis itu mendekam.
"Dia berada di sel sebelah kanan," kata Hendro "Di sebelah sini."
Dengan hati-hati dia mengangkat semacam penutup di bagian atas pintu. "Dia masih tertidur," katanya "Coba lihat sendiri,"
Kami berdua mengintip dari balik pintu itu. Sang tahanan sedang tertidur pulas di ranjang, wajahnya menghadap ke arah kami, napasnya berat dan lambat. Pakaiannya compang-camping, berupa baju berwarna yang nongol dari jas nya yang robek-robek. Sebagaimana yang dikatakan Inspektur Hendro tadi, penampilannya benar-benar jorok, dan kotoran yang memenuhi wajahnya benar-bnar menjijikkan. Ada guratan bekas luka yang lebar dari mata sampai daguya, dan kalau wajahnya bergerak, bibir atasnya tertarik sehingga tiga gigiya terlihat menyeringai. Warna jingga rambutnya amat menyala, menjuntai sampai ke dahinya.
"Tampan, bukan?" Komentar Hendro.
"Dia benar-benar perlu dicuci bersih," timpal Doyle "Begitu dan saya dengan sukarela telah membawakan alat yang akan mencuci bersih badannya yang jorok itu."
Arthur Doyle membuka tas nya dan mengeluarkan spons mandi yang sangat besar. Aku terkejut.
"Hei-hei, anda ini ada-ada saja." kata Hendro tergelak.
"Nah, kalau kau tidak keberatan membuka pintu itu dengan hati-hati, akan kita benahi penampilannya."
"Yah, mengapa tidak?" Kata Inspektur Hendro,"Dia mempermalukan penjara ibukota bukan?"
Dibukanya pintu besi itu dengan hati-hati, dan dengan perlahan kami masuk kedalam sel itu. Tahanan yang sedang tidur itu membalikkan badannya dengan sekejap dan kembali tidur dengan nyenyak. Doyle membungkuk di tempat air, membasahi spons nya, dan menggosokkannya ke wajah pengemis itu dua kali dengan sekuat tenaga."
"Saya perkenalkan kepada anda tuan-tuan,"teriaknya "Mr. Rifky Hidayat yang berasal dari Ciwidey, Bandung."
Aku terpanjat sekali menyaksikan kejadian didepanku yang tak pernah kualami seumur hidupku. Wajah orang itu mengelupas bagaikan kulit kayu pada pepohonan. Wajah yang gelap mengerikan itu kini lenyap. Begitu pula dengan guratan bekas luka dan bibir yang miring keatas, yang selama ini membuat wajahnya terlihat begitu menjijikkan! Dengan satu sentakan, rambut berwarna merah jingga itu pun terlepas dari tempatnya dan dia terjaga dari tidurnya dan terduduk di tempat tidurnya. Wajahnya pucat,sedih dan sopan. Rambutnya hitam, wajahnya putih bersih, kulitnya halus. Orang itu menggosok-gosokkan matanya dan memandang sekelilingnya dengan bingung, karena masih mengantuk. Kemudian, ketika ia menyadari penyamarannya terbongkar, ia berteriak dan menjatuhkan wajahnya menutup ke bantal.
"Ya Allah!" Teriak Inspektur Hendro. " Memang dia orang yang dinyatakan hilang itu. Saya masih mengenali wajahya dari foto."
"Begitulah," Tahanan itu menoleh dengan pasrah. "Dan tuduhan apa yang anda tuntut dari saya?"
"Tuduhan melenyapkan Mr. Rifky Hidayat... wah, anda tak mungkin dituduh begitu, kecuali mungkin diganti dengan tuduhan percobaan bunuh diri." Kata Inspektur Doyle sambil menyeringai. "Yah selama dua puluh tjuh tahun bertugas di kepolisian baru pertama kali saya menjumpai kasus seperti ini."
"Karena saya sendiri Mr. Rifky Hidayat maka jelas tak ada kejahatan yang telah saya laukakan. Berarti, telah terjadi salah tangkap terhadap saya, ya kan?"
"Memang bukan kejahatan, tapi kesalahan yang sangat besar," sambung Doyle "Untuk apa anda mengelabui istri anda?"
"Masalahnya bukan pada istri saya, tapi anak-anak saya," rintih tahanan itu. "Semoga Than menolong saya, agar mereka tak merasa malu atas realita tentang ayahnya. Ya, Tuhan! Betapa menyakitkannya, alau sampai mereka tahu! Apa yang harus saya lakukan?"
Doyle duduk di sampingnya dan menepuk-nepukk bahunya dengan lembut.
"Seandainya anda melimpahkan masalah ini ke pengadilan, tentu saja nama anda akan menjadi trending topik dunia melalui berita yang tersebar di internet. Tapi, jika anda bisa meyakinkan pihak yang berwenang bahwa anda tidak melakukan suatu tindak kejahatan satupun, maka tidak ada alasan untuk menggembor-gemborkan masalah ini bukan? Saya yakin Inspektur Hendro bersdia mencatat pengalaman anda untuk di serahkan ke pihak yang berwenang nantinya. Kasus ini mungkin malah tidak perlu masuk ke pengadilan sama sekali."
"Alhamdulillah," Seru tahanan itu dengan haru. "Lebih baik saya dipenjara, atau dihukum mati daripada anak-anak saya harus mengetahui kejadian yang memalukan ini.
"Kalian bertiga adalah yang pertama kali tau tentang kisah keluarga saya. Ayah saya seorang Kepala Sekolah di Bogor. Saya pun bersekolah disana. Waktu masih muda saya sering berpergian, pernah main sandiwara, sehingga akhirnya menjadi wartawan sebuah koran sore di Jakarta. Suatu hari atasan saya ingin mendapat artikel tentang pengemis di Jakarta, dan saya menyatakan kesediaan untuk mencari informasi untuk pennulisan artikel tersebut. Itulah awal petualangan saya. Saya harus terjun menjadi pengemis amatir agar mndapatkan fakta-fakta untuk artikel saya. Karena pernah bermain sandiwara, tentu saja saya tahu cara memoles wajah, dan saya memang pernah menjadi ahli rias wajah di belakang panggung. Keahlian itu ternyata kini dapat saya manfaat kan. Saya mengecat wajah saya, meriasnya sdemikian rupa sehingga terlihat mengenaskan. Saya bubuhkan bekas luka dan saya buat efek miring keatas pada bibir saya dengan bantuan plaster kcil. Ditambah dengan rambut palsu warna merah menyala dan pakaian yang ssuai, saya duduk di sebuah tempat tersibuk di kota Jakarta, pura-pura menjual korek, tapi sebenarnya menjadi pengemis. Saya menjalankan usaha ini selama tujuh jam, dan coba bayangkan, saya berhasil membawa pulang tak kurang dari delapan ratus delapan puluh ribu.
"Saya mulai menulis fakta yang saya dapatkan dan mulai melupakan petualangan saya itu. Namun kemudian saya harus membayar hutang sebesar satu juta enam ratus ribu rupiah kepada seorang teman. Saya tak tahu harus berbuat apa untuk mendapatkan uang sebanyak itu, lalu tiba-tiba saya mempunyai ide, Saya minta waktu dua minggu untuk membayar utang itu, mengambil cuti, dan kembali mengemis! Saya berhasil mengumpulkan uang itu dalam sepuluh har, lalu lunaslah utang saya.
"Nah, coba bayangkan. Pekerjaan saya yang resmi hanya menghasilkan dua ratus ribu rupiah seminggu. Padahal dengan mencuat wajah, menaruh topi terbalik di pinggir jalan, dan duduk-duduk saja, saya bisa mendapatkan sejumlah iu dalam sehari. Saya sempat bergumul antara uang dan gengsi, namun uanglah yang menang. Maka saya pun berhnti bekerja sebagai wartawan, dan beralih profesi menjadi pengemis di sudut jalan yang telah saya pilih. Dengan mengandalkan rasa iba orang yang lewat, uang pun bergelimang masuk ke saku saya. Hanya satu orang yang tahu rahasia saya, yaitu pemilik pondok candu yang saya sewa dengan mahal. Dan disitulah saya berganti peran. Setiap pagi saya keluar dari situ sebagai pengemis gembel, namun pada malam hari saya keluar dari situ sbagai seorang pria terhormat. Saya membayar sewa amar di pondok candu itu cukup mahal, suapaya ia tidak membeberkan rahasia saya.
"Tak lama kemudian saya sudah mempunyai simpanan yang cukup banyak, memang tidak semua pengemis bisa menghasilkan seratus sembilan belas juta setahun seperti halnya yang saya alami, namun saya memiliki kelebihan. Rias wajah dan kemampuan saya berkomunikasi dengan orang-orang yang lewat membuat saya semakin dikenal di Ibukota. Sepanjang hari, uang logam atau bahkan uang kertas dilemparkan menuju topi saya. Paling sial, saya hanya mendapatkan seratus ribu rupiah perhari.
"Dengan bertambah kaya, saya semakin ambisius. Saya membeli rumah di desa, menikah, tanpa ada orang yang mempermasalahkan apa pekerjaan saya sebenarnya. Istri saya tahu saya punya pekerjaan di Ibukota, tapi tak tahu pekerjaan macam apa itu.
"Hari senin lalu, saya sudah selesai mengemis dan sedang berganti pakaian di lantai atas pondok candu. Ketika itu, saya kebetulan menoleh keluar jendela. Saya terkejut setengah mati melihat istri saya sdang berjalan di bawah jendela itu. Dia pun terbelalak melihat saya. Saya berteriak kaget, mengangkat tangan untuk menutupi wajah saya, lalu saya berlari enemui Naufal untuk mencegah siapapun yang berusaha naik ke lantai atas. Saya mendengar suara istri saya dibawah sana, dan saya tahu kalu dia tidak diizinkan naik ke atas. Dengan cepat saya melepas pakaian saya yang perlente dan mengenakan pakaian pengemis dan menyamar lagi.
"Saya yakin istri saya sendiri pun tak akan mengenali saya. Tapi saya menyadari bahwa kamar saya ungkin akan digeledah dan pakaian saya yang perlente bisa membongkar rahasia saya. Saya lalu membuka jendela. Karena tergesa-gesa, jari saya yang teerluka pagi harinya berdarah lagi, Lalu saya mengambil jas saya yang penuh dengan uang logam, karena perolehan saya hari itu baruu saja saya masukkan kesitu. Saya lempar jas itu beserta isinya keluar jendela. Lega rasanya melihat benda itu menghilang ditelan arus laut. Baru saja saya akan membuang pakaian saya yang lain, terdengar derapan suara langkah-langkah polisi di tangga menuju kamar saya. Beberapa menit kemudian, saya akui bahwa saya malah menjadi lega, karena mereka tak mengenali saya sebagai Mr.Rifky Hidayat dan malah menuduh saya telah membunuh pria tersebut.
"Begitulah penjelasan saya, saya lalu memutuskan untuk terus menyamar dengan muka buruk seperti itu selama mungkin. Karena istri saya mencemaskan keadaan saya, saya lalu mencopot cincin saya, dan menyerahkannya pada Naufal pada saat poisi lengah mengawasi saya. Juga saya sempat menulis pesan dengan tergesa-gesa, yang isinya mententramkan hati istri saya dan berpesan agar dia tidak usah cemas."
"Pesan anda baru tiba kemarin," Kata Doyle
"Ya Tuhan! Betapa menderitanya istriku selama satu minggu penuh."
"Polisi memata-matai Naufal," Kata Hendro, "Jadi saya mengerti bahwa dia tidak mungkin pergi mengeposkan surat itu tanpa terlihat polisi. Dia mungkin menitipkan suat itu kepada salah seorang pelaut dan baru ingat untuk mengirimkannya beberapa hari kemudian."
"Tepat," kata Doyle sambil menganggukkan kepala tanda setuju,"Ya, tak diragukan lagi. Selama mengemis, apakah anda belum pernah ditangkap polisi?"
"Sering, tapi saya selalu bisa bebas kemballi setelah membayar denda."
"Anda harus menghentikan kegiatan mengemis anda sampai disini," Kata Inspektur Hendro "Kalau anda berharap polisi mengubur masalah ini, maka pengemis bernama Juplik harus lenyap pula."
"Saya sudah bersumpah untuk tidak mengemis lagi. Sungguh!"
"Kalau begitu, masalahnya sampai disini. Tapi kalau anda ketahuan mengemis lagi, semua kisah anda akan dibeberkan kepada publik. Mr. Doyle, kami amat berutang budi kepada anda, karena anda telah membuat masalah ini menjadi jelas. Bolehkah saya mendapat penjelasan, bagaimana cara anda bisa sampai pada kesimpulan seperti ini?"
"Dengan duduk di atas lima bantal dan melahap habis satu ons tembakau irisan," kata temanku. "Kurasa Willy, sudah waktunya bagi kita kembali ke Jakarta untuk makan pagi."
Cerpen diatas terinspirasi dari serial cerita "The Adventure of Sherlock Holmes : The Man with the Twisted Lip"
EmoticonEmoticon